KIAT INDONESIA - Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari tahun 2024, praktik money politik (politik uang) bukan menjadi hal yang baru di masyarakat, bahkan dianggap wajar sebagian masyarakat. Hal ini berdasarkan survey Charta Politika tanggal 19-25 Maret tahun 2019 pada pemilihan tahun 2019.
Sebanyak 45 persen Responden menyatakan memaklumi praktik politik uang. Sementara 39.1 persen tidak memaklumi, dan 15,4 persen tidak tahu atau tidak menjawab (Kompas.com).
Berangkat pengalaman, menjelang Pemilu 2024, praktik politik uang menjadi bencana demokrasi di Indonesia, seolah praktik uang adalah segalanya dalam mempengaruhi hak suara masyarakat tanpa melihat visi dan misi ketika terpilih.
Baca Juga: Berhenti Mutilasi Karena Kehabisan Tenaga, Netizen Korea Berharap Jeong Yoo Jung Harus Dihukum Mati
Keberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk pemilu tahun 2024 harus menjadi garda terdepan dalam mensosialisasikan Bahaya politik uang di masyarakat. Karena politik uang adalah virus yang barbahaya dalam memilih wakil-wakil rakyat di pemilu 14 februari tahun 2024 mendatang. Karena bukan tidak mungkin jika pemimpin terpilih merupakan hasil praktik Politik uang, kebijakanya bukan tidak mungkin hanya memberi peluang keuntungan untuk diri atau golongnya
Maka tidak heran apabila Steven Levisky dan Danial Ziblat mengatakan bahwa kemunduran dalam proses demokrasi di mulai dari kotak suara.
Penyelenggara pemilu (Bawaslu) berkewajiban mengedukasi masyarakat agar menjauhi praktik politik uang karena masyarakat masih berpikiran Kalau ada uangnya saya pilih hae, tidak ada uang tunggu dulu. Itulah yang harus di ubah dan harus di jelaskan kepada masyarakat bahwa Politik uang sebenarnya suap yang dilarang dalam dalam hukum agama maupun hukum negara.
Baca Juga: Jeong Yoo Jung Bunuh dan Mutilasi Orang Yang Baru Ditemui Tanpa Motif
Bahkan di UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pasal 515 yang bunyinya. Setiap Orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (Tiga) tahun dan denda paling banyak 36.000,000,- (Tiga puluh Enam Juta).
Sehingga untuk mencegah parktik politik uang di butuhkan kerjasama denga masyarakat mengingat minimnya pengawas pemilu itu sendiri. Bisa kita bayangkan pemilihan yang akan datang ketika praktik politik uang di praktikan secara massif di masyarakat, hal ini tentu akan mempersulit penegak hukum untuk mendeteksi karena transaksi money politik transaksinya bersifat anonym begitu pun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak dapat mengetahuinya kecuali yang menerima uang itu sendiri sehinghga dibutuhkan kolaborasi dengan masyarakat.
Sehingga untuk menyiasatinya adanya formulasi kerjasama semua pihak dan perlu di segerakan mitigasi politik uang dengan membukan aduan di setiap desa dan keluarahan tentang praktik politik uang dan harus memiliki komitmen dalam menjaga dan mengawal Pemilu 2024 mendatang.***
Artikel Terkait
PMII Sultra, Kolaborasi Membangun Daerah (Catatan Menjelang Pelantikan PKC PMII Sultra Masa Khidmat 2021-2023)
Amplifikasi Kekerasan Di Bulan Suci (Catatan Menanggapi Hal yang Dialami Ade Armando)
Pemuda Mengambil Peran Menjadi Sulawesi Tenggara Satu
Kita Belajar Dari Eril: Sering Membantu, Hingga Didoakan Jutaan Ribu Manusia
Hilirisasi Industri Nikel, Mimpi Besar Indonesia
Masa Depan Nikel : Bahan Baku Utama Baterai Kendaraan Listrik
Menakar Pro Kontra Rencana Pembangunan Gedung Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara yang Megah
Kawasan Hutan PT. Antam Terjarah Tanpa Reboisasi, Negara Rugi Besar, Tanggung Jawab Siapa?
Menyikapi Rencana Kegiatan Penambangan Batu Gamping di Buton Tengah
Setara di Hadapan Tuhan, Menjaga Sensitivitas Kesukubangsaan